Legalitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Anak Dalam
INFORMASI PROGRAM
1.
Nama Program Mendorong Legalitas Suku
Anak Dalam (SAD) atau Atau Orang Rimbo Di Kawasan
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Dan Taman Nasional Bukit Dua Belas Di Kabupaten
Tebo
2. Latar Belakang/Permasalahan
“Orang Rimbo” sebutan kami kepada Suku Anak Dalam (SAD),
merupakan salah satu kelompok atau
komunitas minoritas yang berada di Provinsi Jambi dan tersebar di 5
kabupaten yakni, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten
Merangin, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo. Dari seberan, mereka hidup di sekitaran kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dan
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
Di Taman Nasional Bukit Dua Belas, sedikitnya
ada sekitar 11 kelompok Orang
Rimbo
yakni kelompok Temenggung Grip, Temenggung Nangkus, Temenggung Bepayung,
Temenggung Ngadap, Temenggung Girang, Temenggung Meladang/Melimun, Temenggung
Melayau Tuha, Temenggung Ngamal, Temenggung Nyenong, Temenggung Celitai, dan
Temenggung Ngukir.
Sementara di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
ada sekitar 10 kelompok yakni, kelompok Temenggung Bujang Rancak, Temenggung Bujang
Kabut, Temenggung Hasan, Temenggung Hasan, Temenggung Rafik, Temenggung Buyung,
Temenggung Lidah Pembangun, Temenggung Apung, Temenggung Tupang Besak dan
Temenggung Bujang Itam. Di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh ini juga ada satu
kelompok Suku Talang Mamak.
Dari jumlah tersebut, untuk kelompok Orang
Rimbo di Taman Nasional Bukit Dua Belas yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Tebo hanya satu kelompok yakni kelompok Temenggung Ngadap. Di Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh ada 9 kelompok, sedangkan kelompok Temenggung Bujang Itam
masuk kedalam wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar).
Sejak
nenek moyong mereka, Orang Rimbo hidup dan menggantungkan hidup pada
hutan dan hasil-hasilnya. Mereka hidup dari meramu, berburu maupun mengumpulkan
hasil hutan bukan kayu. Dari segi pola
hidup dan hukum, kelompok
ini sangat patuh pada
aturan adat yang mengatur perilaku mereka.
Namun
sejak masuknya pihak lain (perusahaan perkebunan dan pertambangan) mengelola
hutan dalam skala besar, kehidupan Orang
Rimbo mulai berubah. Sebab hutan tempat
mereka hidup dan berkehidupan semangkin sempit. Akibatnya mereka yang dulunya
hidup dalam kemewahan alam, saat ini hidup dalam kesulitan karena
lahan atau hutan yang makin terbatas. Ditambah lagi dengan aktivitas illegal
loging, jual beli lahan, perambahan dan penguasaan hutan oleh
para oknum, membuat
ruang hidup Orang Rimbo semakin sempit dan sulit.
Parahnya
lagi, dengan kondisi itu banyak oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab
memanfaatkan Orang Rimbo demi keuntungan dan kepentingan
tertentu. Mulai dari pembukaan lahan secara illegal dan pengambilah kayu hutan
atau illegal loging, begitu juga dengan praktek jual beli lahan dan penguasaan
lahan.
Berbagai persoalanpun muncul akibat aktivitas itu
diantaranya, terjadi konflik Orang Rimbo
dengan masyarakat maupun konflik Orang
Rimbo dengan perusahaan. Seperti yang terjadi pada Agustus 2014 yang
lalu, terjadi bentrok antara kelompok Temenggung Bujang Kabut dengan warga tiga
desa yakni Desa Teluk Kuali Kecamatan Tebo Ulu, Desa Melako Intan Kecamatan
Tebo Ulu dan Desa Pemayongan Kecamatan Sumay. Dampak dari bentrok ini, sebanyak
5 unit rumah Orang Rimbo
termasuk rumah Temenggung Bujang Kabut dibakar warga.
Begitu
juga dengan insiden yang terjadi baru-baru (Juli 2019) ini di Kabupaten Batanghari.
Orang Rimbo
dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk menguasai lahan. Kelompok yang
mengatasnamakan Serikat Mandiri Batanghari (SMB) memanfaatkan Orang Rimbo
sebagai temeng menguasai lahan ribuan hektar di konsesi PT WKS tepatnya di area
Distrik VIII PT WKS, serta
masih banyak lagi konflik yang lainya terjadi
dan insiden seperti ini dikhawatirkan
akan kembali terjadi bila tidak segera diantisifasi.
Sementara,
keberadaan Orang Rimbo telah diakui namun belum secara
legalitas. Akibatnya, secara hukum mereka tidak bisa mempertahankan hak-hak
dasar mereka. Padahal, keberadaan Orang
Rimbo ini sangat berpotensi jika ditanggani secara
serius. Apalagi dari beberapa kelompok mereka secara tidak
langsung telah berperan sebagai pelindung taman nasional karena wilayah hidup
mereka berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka kami dari
Yayasan Orang Rimbo Kito (Orik) menganggap perlu mendorong keberadaan Orang
Rimbo sebagai Masyarakat Hukum Adat dan pengakuan serta perlindungan hak-hak
mereka sebagai Masyarakat Hukum Adat.
Posting Komentar
Posting Komentar