Makna Melangun dan Konfrontasi Orang Rimba Terhadap Para Dewa
Foto: Sialang.id
Orik.or.id - Melangun merupakan salah satu tradisi Orang Rimba dan tradisi ini yang paling membedakan komunitas adat ini dengan masyarakat adat lainnya yang ada di nusantara.
Melangun adalah upaya menghilangkan rasa sedih dengan cara meninggalkan lokasi semula yang dipicu kematian anggota keluarga (bayi maupun dewasa) menuju ke tempat lain yang dapat menyenangkan hati.
Detik-detik melangun ada ratapan panjang yang semakin lama semakin konsis, kuat dan menggema, disertai tangis anggota keluarga atau kelompok yang sedang mengalami kedukaan.
Semua anggota keluarga secara bersamaan akan disibukkan menyusun barang miliknya masing-masing yang akan dibawa dari lokasi tersebut setelah prosesi terhadap jenazah dianggap selesai.
ALSO READ :Kisah Mangku Muhamad Nikahi Gadis Rimba Melahirkan Banyak Pemimpin
Sekalipun saat ini memasuki revolusi industri 4.0 melangun masih berlangsung pada Orang Rimba di wilayah Batanghari, Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo Provinsi Jambi.
Entah sampai kapan Melangun dipertahankan yang pasti hingga kini masih berlangsung bagi mereka yang hidup dan berkembang di Bukit 12 dimana itu sebuah wilayah yang berada ditengah-tengah Provinsi Jambi, Sumatera, Swarnadiva.
Sebuah hamparan yang diapit 4 sungai besar yakni Batanghari di sisi utara, Tembesi dibagian timur, Tabir dibagian barat dan Merangin dibagian selatan.
Dalam bentang itulah mereka hidup dan berkembang di sepanjang sungai yang menjadi subdas 4 sungai besar diatas seperti sungai Air Hitam dan Serengam yang menjadi subdas Tembesi dan sungai Kejasung besar, Kejasung kecil, Makekal, Telas, Bernai, Sungkai, yang menjadi subdas Tabir.
Di sepanjang subdas itulah titik sebaran konsentrasi yang telah berlangsung turun temurun terhadap 50an rombong dibawah naungan penghulu adat 11 ketumenggungan.
Bagi yang hidup di wilayah ini tidak ada larangan untuk melangun antar wilayah atau lokasi. Bagi mereka dari Makekal boleh melangun ke wilayah Kejasung ke Air hitam begitu juga dengan sebaliknya.
Boleh menetap sekian lama hingga rasa sedih benar-benar hilang hingga pada waktunya siap untuk kembali ke lokasi semula.
Tidak ada ukuran waktu kapan mereka kembali karena semua tergantung nilai kesedihan dan kenangan terhadap orang atau sosok yang meninggal dunia.
Bisa jadi lebih kecil jiwa yang meninggal lebih kecil pula kenangannya hingga pergolakan dengan behelo (para dewa) menemukan titik kompromi.
Melangun perlu energi besar karena harus mendukung semua peralatan dan barang-barang termasuk kebutuhan makanan sembari berjalan kaki siang maupun malam.
Rasa lelah jangan ditanya karena fase ini selain menguras tenaga juga psikis terbelenggu sosok dan jiwa yang telah mendahului mereka.
Demikian perjalanan sakral konfrontasi (kekecewaan) terhadap para dewa atas sosok yang mereka cintai mereka tinggal dalam peristirahatan terakhir disebuah tempat yang mereka sebut tanoh pasoron. (red)
Sumber : Sialang.id
Posting Komentar
Posting Komentar