BUBMliDuJ8M4WXSjHxwzacQ3y3MXgzTn33owbOKI
Orik Dorong Eksistensi dan Legalitas SAD Sebagai Masyarakat Adat

Orik Dorong Eksistensi dan Legalitas SAD Sebagai Masyarakat Adat

Orik.or.id || Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK) di bawah binaan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Tebo, Teguh Suhendro, gelar Focus Group Discussion (FGD) Mendorong Eksistensi Dan Legalitas Suku Anak Dalam (SAD) Sebagai Masyarakat Adat, di aula utama Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Tebo, Jumat (22/03).

Hadir dalam kegiatan ini, Wakil Bupati Tebo Syahlan Arfan, Kepala Pengadilan Negeri (PN) Ricky Ferdinand, Perwakilan dari Polres Tebo, para pimpinan OPD, LSM dan aktivitas lingkungan yang peduli terhadap SAD.

Dalam arahannya, Kepala Kejari Tebo, Teguh Suhendro mengatakan bahwa jika keberadaan SAD telah diakui baik ditingkat daerah, provinsi maupun nasional bahkan internasional.

Namun, kata Pembina Yayasan ORIK ini, secara legalitas keberadaan SAD belum diakui. “Dari FGD ini, saya berharap bisa menghasilkan kesimpulan yang akan menjadi acuan untuk usulan pengakuan atau legalitas SAD di Tebo,” kata Kajari Tebo. 

Kajari bercerita, kepedulian dia terhadap SAD berawal dari program Jaksa Masuk Rimba yang telah digagasnya setahun yang lalu.

Saat menjalankan program itu, pihaknya berkeinginan untuk mendorong agar eksistensi dan lagalitas SAD sebagai masyarakat adat diakui, “Kedepanya, kalau SAD sudah memiliki legalitas sebagai masyarakat adat, baru mereka bisa mendapatkan hak adat mereka, diantaranya hutan adat tempat mereka tinggal dan hidup,”kata Kajari.

Menurut Kajari, eksistensi dan lagalitas SAD sebagai masyarakat adat sangat diperlukan untuk keberadaan SAD di Jambi khususnya di wilayah Tebo. “Kita khawatir sewaktu-waktu keberadaan SAD nyaris tergerus oleh zaman. Ini yang akan kita antisipasi jangan sampai keberadaan mereka hilang,”kata Kajari lagi.

“Kalau semuanya sudah berjalan, saya optimis program pendampingan dan pemberdayaan bisa berjalan optimal,”ujar Kajari dan mengatakan bahwa kedepanya Yayasan ORIK akan melakukan kajian yang melibatkan akademis. 

Wakil Bupati Tebo, Syahlan Arfan mengatakan jika selama ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tebo sangat peduli dengan SAD. Dia juga mengaku jika keberadaan SAD diakui oleh pemerintah dan masyarakat Tebo. 

Bukti kepedulian Pemkab terhadap SAD, Syahlan menyebutkan bahwa Pemkab telah menempatkan guru honor untuk pendidikan SAD, Pemkab Tebo juga telah membangun sekolah alam di pemukiman SAD, dan Pemkab Tebo juga telah mendata beberapa kelompok SAD,” Melalui Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil (Dukcapil), kita juga telah menerbitkan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Kependudukan (KTP) meski belum semuanya,” ujar Wabup.

Terkait hutan adat, kata Syahlan, sebelumnya ada beberapa kelompok SAD yang telah diberikan hutan atau lahan namun tidak dikelola. Bahkan, lahanya sudah banyak yang telah dijual. “Kita tidak tahu siapa yang memberikan lahan itu. Tapi yang jelas soal hutan atau lahan itu bukan wewenang pemerintah daerah, tapi wewenang pusat,” kata Syahlan. 

Terus terang dikatakan Wabup, sampai saat ini Kabupaten Tebo belum punya data kongkrit soal SAD. “Ini salah satu kesulitan kita untuk mengakomodir SAD. Mungkin kedepanya kita perlu melakukan pendataan. Prinsipnya, kami siap bekerjsama. Kami mengakui eksistensi SAD di Tebo, dan kami sangat peduli dengan SAD Tebo,”kata Syahlan. 

Sementara, Kepala Pengadilan Negeri (PN) Tebo, Ricky Ferdinand mengatakan keberadaan SAD di Kabupaten Tebo memang telah diakui oleh pemerintah maupun masyarakat Tebo,” Secara eksistensi sudah diakui, namun legalitasnya sudah diakui belum,” tanya Ricky Ferdinand. 

Ricky menceritakan pengalaman dia saat menyidangkan gugatan soal lokasi tambang yang berada di lahan adat. Pada sidang waktu itu legalitas lahan adat tidak bisa dibuktikan secara yuridis.

Diakui Ricky beberapa waktu lalu dirinya didatangi oleh perwakilan dari SAD yang menanyakan soal penetapan pengakuan legalitas SAD dan hutan adat. 

Namun, ujarnya, waktu itu dirinya belum bisa memberikan jawaban. Pasalnya, penetapan legalitas SAD maupun hutan adat harus memiliki dasar hukum. Lalu, dia mencoba mencari dasar hukum soal legalitas SAD tersebut. 

Dari beberapa referensi undang-undang (UU) ujar Ricky, ada disebutkan soal hutan adat namun yang mengelola adalah pemerintah. Kemudian UU tersebut direvisi dan disetujui oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pada putusan MK tersebut diantaranya hutan adat dikelola oleh adat. 

Untuk pengakuan hutan adat ini, lanjut Ricky mengatakan bahwa harus ada pengakuan secara yuridis soal masyarakat adat. “Jadi menurut saya yang harus didahulukan adalah pengakuan atau legalitas SAD sebagai masyarakat adat. Setelah itu baru mereka (SAD) bisa mengajukan permohonan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk hutan adat mereka,” kata Ricky lagi. 

Untuk legalitas SAD, diakui Ricky jika tidak ada UU yang mengatur saol itu. Namun pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Pelindungan Masyarakat Hukum Adat, dijelaskan yang mempunyai wewenang adalah bupati atau walikota. 

Tahapanya, kata Ricky, bupati atau walikota membentuk panita untuk melakukan identifikasi, kemudian melakukan verifikasi dan validitasi, selanjutnya baru dikeluarkan rekomendasi atau surat dari bupati atau walikota. 

“Begitu juga dengan hutan ada yang diusulkan oleh masyarakat adat KLHK. Harus ditentukan hutan atau lokasinya. Setelan itu KLHK akan melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi 

“Jadi yang perlu didorong adalah bagaimana mendapat pengakuan dalam hal ini secara yuridis dwn kemudian baru mengajukan hutan adat, “kata dia. [orik]

Baca Juga
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Posting Komentar

Iklan Tengah Post